FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
Disusun
Oleh:
Fadli
Putro Budi Perwirakusuma : H
1910006
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL
PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
A. Pendahuluan
Cabai pada dasarnya terdiri atas dua golongan utama
yaitu cabai besar (capsicum annuum L) dan cabai rawit (Capsicum
frutencens L). Cabai besar terdiri atas cabai merah (hot pepper/cabai
pedas), cabai hijau, dan paprika (sweet pepper/cabai manis). Cabai merah
besar terdiri dari cabai hibrida dan nonhibrida. Cabai rawit pun banyak
ragamnya dan biasanya merupakan cabai
lokal yang bukan hibrida (Prajnanta, 2007).
1. Botani Cabai Rawit
Gambar
1. Cabai rawit (Capsicum frutencens L var. Cengek)
Cabai
merupakan tanaman holtikultura yang cukup penting dan banyak dibudidayakan,
terutama di pulau jawa. Cabai termasuk tanaman semusim (annual)
berbentuk perdu, berdiri tegak dengan batang berkayu, dan banyak memiliki
cabang. Tinggi tanaman dewasa antara 65‐120
cm. lebar mahkota tanaman 50‐90
cm (Setiadi, 2006).
Tanaman
cabai mudah dikenali, yaitu tanaman yang berupa perdu yang berkayu yang tumbuh
tegak mempunyai tinggi 50‐90
cm, dan batang cabai sedikit mengandung zat kayu, terutama yang dekat dengan
permukaan tanah, tanaman cabai adalah tanaman yang memproduksi buah yang mempunyai
gizi yang cukup tinggi. Tanaman cabai selain sebagai sayuran juga dapat digunakan
sebagai tanaman obat (Setiadi, 2006).
Terdapat
3 macam buah cabai, yang besar agak pendek, besar panjang dan yang kecil (cabai
rawit) cabai besar agak lonjong rasanya kurang pedas, berwarna merah dan hijau
tetapi konsumen di Indonesia biasanya menyukai ketika masih berwarna hijau,
untuk sayur, ataupun dimakan mentah sebagai lalap. Demikian pula cabai besar
yang panjang kebanyakan dipetik setelah berwarna merah, sebagai pencampur sayur
atau dikeringkan sebagai tepung (Kartasapoetra, 1988).
Tanaman
cabai berasal dari benua Amerika, tepatnya Amerika Latin dengan garis lintang 0‐300LU dan 0‐300LS.
(Setiadi, 2006). Prajnanta (2007) menambahkan bahwa tanaman cabai berasal dari
Peru. Ada yang menyebutkan bahwa bangsa Meksiko kuno sudah menggemari cabai semenjak
tahun 7000 jauh sebelum Colombus menemukan benua Amerika (1492). Christophorus
Colombus kemudian menyebarkan dan mempopulerkan cabai dari benua Amerika ke
Spanyol pada tahun 1492. Pada awal tahun 1500‐an, bangsa Portugis mulai
memperdagangkan cabai ke Macao dan Goa, kemudian masuk ke India, Cina, dan
Thailand. Sekitar tahun 1513 kerajaan Turki Usmani menduduki wilayah Portugis
di Hormuz, Teluk Persia. Di sinilah orang Turki mengenal cabai. Saat Turki
menduduki Hongaria, cabai pun memasyarakat di Hongaria. Cabai rawit banyak
dibudidayakan diberbagai negara, hasilnya selain untuk mencukupi kebutuhan
sendiri, karena banyak dibutuhkan di negaranegara yang berhawa dingin
(Kartasapoetra, 1988).
2. Taksonomi
Cabai Rawit
Klasifikasi
tanaman cabai menurut Wiryanta (2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub
Divisio : Angiospermae
Classis
: Dicotyledonae
Ordo
: Solanales
Familia
: Solanaceae
Sub
Familia : Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum frutencens L var. Cengek
3. Morfologi
Cabai
a. Akar
Akar
cabai merupakan akar tunggang yang kuat dan bercabang-cabang ke samping
membentuk akar serabut, akar serabut bisa menembus tanah sampai kedalaman 50 cm
dan menyamping selebar 45 cm (Setiadi, 2006).
Sedangkan
menurut Prajnanta (2007), Perakaran tanaman cabai merupakan akar tunggang yang
terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral
keluar serabut‐serabut
akar (Akar tersier). Panjang akar primer berkisar 35‐50 cm. Akar lateral
menyebar sekitar 35‐45
cm.
b. Batang
Batang
utama cabai tegak lurus dan kokoh, tinggi sekitar 30‐37,5 cm, dan diameter
batang antara 1,5‐3
cm. Batang utama berkayu dan berwarna coklat kehijauan. Pembentukan kayu pada
batang utama mulai terjadi mulai umur 30 hari setelah tanam (HST). Setiap
ketiak daun akan tumbuh tunas baru yang dimulai pada umur 10 hari setelah tanam
namun tunas‐tunas
ini akan dihilangkan sampai batang utama menghasilkan bunga pertama tepat diantara
batang primer, inilah yang terus dipelihara dan tidak dihilangkan sehingga
bentuk percabangan dari batang utama ke cabang primer berbentuk huruf Y, demikian pula antara cabang
primer dan cabang sekunder.
Pertambahan
panjang cabang diakibatkan oleh pertumbuhan kuncup ketiak daun secara terus‐menerus. Pertumbuhan
semacam ini disebut pertumbuhan simpodial. Cabang sekunder akan
membentuk percabangan tersier dan seterusnya. Pada akhirnya terdapat kira‐kira 7‐15 cabang per tanaman
(tergantung varietas) apabila dihitung dari awal percabangan untuk tahapan pembungaan
I, apabila tanaman masih sehat dan dipelihara sampai pembentukan bunga tahap II
percabangan dapat mencapai 21‐23
cabang (Prajnanta, 2007).
c. Daun
Daun
cabai berwarna hijau muda sampai hijau gelap tergantung varietasnya. Daun
ditopang oleh tangkai daun. Tulang daun berbentuk menyirip. Secara keseluruhan
bentuk daun cabai adalah lonjong dengan ujung daun meruncing (Prajnanta, 2007).
d.
Bunga
Umumnya
suku Solanaseae, bunga cabai berbentuk seperti terompet (hypocrateriformis).
Bunga cabai tergolong bunga yang lengkap karena terdiri dari kelopak bunga (calyx),
mahkota bunga (corolla), benang sari (stamen), dan putik (pistilum).
Alat kelamin jantan (benang sari) dan alat kelamin betina (putik) pada
cabai terletak dalam satu bunga sehiingga disebut berkelamin dua (hermaprodit).
Bunga cabai biasanya menggantung, terdiri dari 6 helai kelopak bunga berwarna
kehijauan dan 5 helai mahkota bunga berwarna putih. Bunga keluar dari ketiak
daun.
Tangkai
putik berwarna putih dengan kepala putik berwarna kuning kehijauan. Dalam satu
bunga terdapat 1 putik dan 6 benang sari, tangkai sari berwana putih dengan
kepala sari berwarna biru keunguan. Setelah terjadi penyerbukan akan terjadi
penbuahan. Pada saat pembentukan buah, mahkota bunga rontok tetapi kelopak
bunga tetap menempel pada buah (Prajnanta, 2007).
4. Spesies cabai Rawit
Cabai
rawit (Capsicum frutencens L) adalah spesies yang paling luas dibudidayakan
dan paling penting secara ekonomis, dan meliputi buah manis dan pedas dengan
berbagai bentuk dan ukuran. Bentuk yang didomistikasi diklasifikasikan sebagai Capsicum
annuum varietas annuum; anggota liarnya adalah Capsicum. annuum varietas
aviculare. Tampaknya, spesies ini didometikasi sekitar wilayahh Meksiko
dan Guatemala. Cabai rawit (Capsicum frutescens L) adalah spesies
semidomistikasi yang ditemukan di dataran rendah tropika Amerika. Selain itu,
Asia Tenggara merupakan dikenal sebagai daerah keragaman sekunder (Yamaguci,
1999).
5. Budidaya Produk
a. Penanaman
Cabai
Keberhasilan usaha
produksi cabai rawit sangat ditentukan oleh aspek teknis budidaya di lapangan. Beberapa
hal yang harus diperhatikan dengan baik dalam pelaksanaan teknis budidaya
tanaman cabai merah, adalah sebagai berikut :
1. Pemakaian benih cabai rawit yang unggul yang tidak
terkontaminasi virus.
2. Ketersediaan air yang cukup
sepanjang periode tanam atau sepanjang tahun.
3.
Pola tanaman yang baik dan sesuai
dengan iklim.
4.
Pengolahan
tanah yang disesuaikan dengan kemiringan lereng dan arah lereng.
5.
Pemberantasan hama dan penyakit tanaman cabai rawit dilaksanakan secara teratur sesuai dengan
kondisi serangan hama dan penyakit.
6.
Cara panen serta penanganan pasca panen
cabai rawit yang baik dan
benar.
Keberhasilan produksi cabai rawit sangat dipengaruhi oleh dari dan
ditentukan oleh kualitas benih yang digunakan. Sifat unggul tersebut
dicerminkan dan tingginya produksi, ketahanan terhadap hama dan penyakit serta
tingkat adaptasi tinggi terhadap perubahan iklim.
Tanah selesai diolah selanjutnya dibuat
bedeng-bedeng yang lebar dan panjangnya disesuaikan dengan petakan lahan yang
ada dengan maksud untuk menjaga tanaman sedimikan rupa sehingga bebas dari
genangan air. Bedeng dibuat
dengan panjang 10-12 m, lebar 110-120 cm, dan tinggi disesuaikan dengan musim
tanam. Pada musim penghujan tinggi bedeng dibuat 40-50 cm, sedangkan pada musim
kemarau dapat dibuat antara 30-40 cm.
Penanaman bibit cabai rawit di lahan budidaya dilakukan pada jarak,
tanam 70 cm antar barisan dan 60 cm di dalam barisan. Untuk pertanaman produksi
cabai merah konsumsi, pembibitan jarak tanam dapat dibuat dalam barisan yang
lebih rapat lagi. Di antara barisan dibuat garitan sedalam 10-15 cm, yaitu
untuk menyebarkan pupuk kandang (15 ton/ha) dan pupuk buatan (N, P dan K).
Jenis dan jumlah pupuk anorganik untuk tanah seluas 1 Ha yaitu dapat mencapai sebesar 200-250 kg urea, ZA 500-600 kg, TSP 400-450
kg dan KCl 300-350 kg. Setelah pupuk anorganik ditebar, segera permukaan tanah ditutup dengan menggunakan plastik perak, hitam yang
berfungsi untuk menghindari hilangnya pupuk akibat sinar matahari dan hujan.
b. Pemeliharaan Tanaman Cabai
1. Perempelan, yaitu kegiatan membuang
tunas-tunas baru yang tumbuh pada batang utama, pada saat
tanaman berumur 45-50
hari setelah tanam.
2. Penyulaman, yaitu
mengganti bibit yang rusak atau mati karena berbagai sebab di lapangan. Jumlah bibit
persediaan untuk cadangan berkisar antara 5-10 % dari jumlah kebutuhan total
kebutuhan.
3.
Pengajiran,
merupakan alat bantu yang terbuat dari belahan bambu yang berfungsi membantu
tegaknya tanaman cabai rawit. Dibuat
dengan ukuran panjang 125-150 cm, lebar 4 cm dan tebal 2 cm.
4.
Pengairan, sangat
penting terutama setelah bibit di
tanam di lapang. Diberikan dengan cara pengairan intensif sehingga tanamit
seperti Antraknosa (patek) bercak daun, layu bakteri, layu fusarium, penyakit
mosaik daun dan lain-lain. Pengendalian dengan cara penyemprotan obat-obatan
insektisida dan fungsida tertentu dapat dilakukan setelah tanaman berumur lebih
dari 20 hari setelah tanam.
5.
Prasarana, yaitu berupa fasilitas kebun
seperti saluran drainase, selokan dan jalan kebun yang ditata sedemikian rupa
sehingga dapat menghindarkan tanaman dari kekeringan maupun genangan yang
berkepanjangan.
6.
Kebersihan lingkungan, pemeliharaan
kebersihan sehingga lokasi
pertanaman dapat dibebaskan dari segala benda atau bahan-bahan tanaman yang
membusuk.
Umumnya buah cabai rawit dipetik apabila telah masak penuh, ciri-cirinya seluruh bagian
buah berwarna rawit. Di dataran rendah masa panen pertama adalah pada umur 75-80 hari setelah tanam,
dengan interval waktu panen 2-3 hari. Sedangkan di dataran tinggi agak
lambat yaitu pada tanaman berumur 90-100 hari setelah tanam dengan interval panen 3-5 hari. Secara umum interval panen buah
cabai rawit berlangsung selama 1,5-2 bulan. Produksi puncak panen adalah
pada pemanenan hari ke-30 yang dapat
menghasilkan 1-1,5 ton untuk sekali panen. Buah cabai rawit yang dipanen tepat masak dan tidak segera dipasarkan akan terus
melakukan proses pemasakan, sehingga perlu adanya penempatan khusus. Oleh
karena itu hasil produksi cabai rawit sebaiknya ditempatkan pada ruang yang sejuk,
terhindar dari sinar matahari, cukup oksigen dan tidak lembab.
6. Nilai Gizi Produk
Menurut
Setiadi (2006), cabai rawit paling banyak mengandung vitamin A dibandingkan
cabai lainnya. Cabai rawit segar mengandung 11.050 SI vitamin A, sedangkan
cabai rawit kering mengandung mengandung 1.000
SI. Sementara itu, cabai hijau segar hanya mengandung 260 vitamin A,
cabai merah segar 470, dan cabai merah kering 576 SI.
Cabai
mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe),
vitamin‐vitamin (salah satunya
adalah vitamin C) dan mengadung senyawa-senyawa alkaloid, seperti kapsaisin,
flavonoid, dan minyak esensial (Prajnanta, 2007).
Tabel
Komposisi Zat Gizi Pada Cabai Rawit
No
|
Komposisi zat gizi
|
Proporsi kandungan gizi
|
|
|
|
Segar
|
Kering
|
1
|
Kalori (Kal)
|
103,00
|
‐
|
2
|
Protein (g)
|
4,70
|
15,00
|
3
|
Lemak (g)
|
2,40
|
11,00
|
4
|
Karbohidrat (g)
|
19,90
|
33,00
|
5
|
Kalsium (mg)
|
45,00
|
150,00
|
6
|
Fosfor (mg)
|
85,00
|
‐
|
7
|
Vitamin A (Si)
|
11050,00
|
1.000,00
|
8
|
Zat besi (mg)
|
2,50
|
9,00
|
9
|
Vitamin B1 (mg)
|
0,08
|
0,50
|
10
|
Vitamin C (mg)
|
70,00
|
10,00
|
11
|
Air(g)
|
71,20
|
8,00
|
12
|
Bagian yang dapat
dimakan (%)
|
90,00
|
‐
|
(Sumber:
Rukmana, 2002)
Selain
untuk sayuran, cabai mempunyai kegunaan yang lain. Dengan beberapa keunggulan
tersebut, cabai dianggap penting untuk bahan ramuan industri makanan, minuman
maupun farmasi. Malahan, dengan kandungan vitamin A yang tinggi, selain
bermanfaat untuk kesehatan mata, cabai juga cukup manjur untuk menyembuhkan
sakit tenggorokan. karena rasanya yang pedas (mengandung capsicol‐semacam minyak atsiri
yang tinggi) (Setiadi, 2006).
Cabai
bisa menggantikan fungsi minyak gosok untuk mengurangi pegal‐pegal, rematik, sesak
nafas, juga gatal‐gatal.
Dengan ketajaman aromanya, cabai juga digunakan untuk menyembuhkan radang
tenggorokan akibat udara dingin serta mengatasi polio (Setiadi, 2006).
Menurut
hasil penelitian Departemen Kesehatan cabai cukup manjur untuk mengobati sakit
perut, mulas, bisul, iritasi kulit dan sekaligus untuk stimulan (perangsang)
misalnya merangsang nafsu makan (Setiadi, 2006).
7. Hasil Olahan
Cabai
rawit rasanya sangat pedas, sangat baik dijadikan saus, sambal atau dikeringkan
dijadikan tepung. Tepung cabai banyak diperlukan baik oleh perusahaan pembuat
makanan dan pembuat atau pencampur obat tradisional. Harganya mahal, oleh
karena itu kalau para petani membudidayakan tanaman ini, sebaiknya sebagian
hasilnya diolah menjadi tepung untuk di ekspor (Kartasapoetra, 1988).
B. Potensi Jumlah Produksi di Indonesia
Konsumsi rata-rata cabai untuk rumah tangga di Jawa
adalah 5,937 gram/kapita/hari (2,2 kg/kapita/hari). Pemakaian di perkotaan
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pedesaan (5,696 gram/kapita/hari untuk
perkotaan dan 5,900 gram/kapita/hari untuk pedesaan). DKI Jakarta (melalui
Pasar Induk Keramat Jati) merupakan daerah tujuan pasar tertinggi dibandingkan
dengan propinsi lainnya di Jawa. Jenis cabai yang banyak dikonsumsi di
perkotaan adalah cabai merah, kemudian cabai rawit dan hijau. Sedangkan pemakaian
di pedesaan terbanyak adalah cabai rawit, kemudian cabai merah dan hijau.
Permintaan cabai rata-rata untuk keperluan industri
(sedang dan besar) adalah 2.221 ton pada tahun 1990. Permintaan ini meningkat
menjadi 3.419 ton pada tahun 1993. Permintaan tersebut diduga terus meningkat
sejalan dengan meningkatnya permintaan yang datang dari industri olah lanjut.
Sedangkan konsumsi rumah tangga pada tahun 1990 di Jawa mencapai 233.600 ton,
pada tahun 1998 konsumsi cabai rumah tangga di Jawa diperkirakan mencapai
258.100 ton dan tahun 2000 diproyeksikan mencapai 264.100 ton.
Industri yang menggunakan cabai di antaranya adalah
industri pengawetan daging, pelumatan buah dan sayuran, industri tepung dari
padi-padian dan kacang-kacangan, mie, roti atau kue, kecap, kerupuk dan sejenisnya, bumbu masak dan makanan lainnya.
Tabel 1. Konsumsi Cabai Rata-rata untuk Rumah Tangga di Jawa
No
|
Propinsi
|
Konsumsi (ton/hari)
|
Total
|
||
C. Merah
|
C. Hijau
|
C. Rawit
|
|||
1
|
DKI Jakarta
|
42,20
|
6,80
|
16,10
|
65,30
|
2
|
Jawa Barat
|
81,00
|
20,50
|
97,70
|
199,20
|
3
|
Jawa Tengah
|
55,20
|
17,10
|
98,30
|
170,60
|
4
|
Yogyakarta
|
35,40
|
2,00
|
9,70
|
47,10
|
5
|
Jawa Timur
|
30,50
|
6,20
|
157,40
|
194,10
|
Sumber : LPM
IPB dan Kantor Depnaker Bogor, 1997. Peluang Bisnis Hortikultura. Bahan
Pelatihan Pembentukan Pemuda Mandiri Profesional Profesional Melalui Peran
serta Perguruan Tinggi Menjadi Pengusaha Pemula 1997.
C. Potensi Permintaan Pasar di Dunia Global
1. Ekspor dan Impor
Berbagai jenis cabai telah di diekspor ke luar negeri,
diantaranya dalam bentuk cabai segar atau dingin,
cabai kering dan saus cabai. Volume ekspor cabai segar pada tahun 1986 sekitar
2.197 kg dengan nilai US $ 1.098 dan pada tahun 1986 meningkat hingga mencapai
135.368 kg nilai ekspor US $ 117.714. Ekspor
tertinggi terjadi pada tahun 1992, sebesar 623.878 kg. Sedangkan ekspor cabai
kering pada tahun 1996 adalah 35.174 kg dengan nilai US $ 12.117 dan meningkat
lebih besar dibandingkan dengan cabai segar, yakni mencapai 485.450 kg per
Septermber 1996 dengan nilai US $ 2.145.235. Perkembangan volume dan nilai
ekspor cabai pada periode 1986-1996 di sajikan secara rinci dalam tabel 2.
Di sisi lain, Indonesia juga mengimpor berbagai jenis
cabai dan cabai olahan dari berbagai negara. Volume impor cabai dari berbagai
negara tersebut cukup berfluktuasi. Dalam dua tahun terakhir, angka impor cabai
mengalami penurunan, dan pada tahun 1996 mencapai 1.788.760 kg. Kondisi ini menunjukkan
bahwa kebutuhan cabai
atau cabai olahan
di dalam negeri masih belum dapat dipenuhi oleh petani (industri cabai di
Indonesia).
Tabel
2. Volume dan Nilai Ekspor/Impor Cabai Indonesia 1986-1996
Tahun
|
V. Ekspor
(Kg)
|
Nilai Ekspor
|
Volume
Impor (Kg) |
Nilai Impor
(US $) |
||
Cabai Segar
|
Cabai Kering
|
Cabai Segar
|
Cabai Kering
|
|||
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
|
2.197
25.778
550
37.330
12.930
349.509
623.878
554.325
565.747
493.499
135.368
|
35
283
10.500
160.745
97.677
101.357
342.200
220.990
328.406
591.848
485.450
|
1.098
12.307
164
12.168
2.012
146.248
191.989
129.098
152.028
223.654
117.714
|
12.117
1.224
6.512
214.610
114.026
117.742
219.909
238.583
543.657
1.518.310
2.145.235
|
3.558.491
2.952.688
2.521.469
3.132.175
1.999.970
1.266.467
1.014.245
2.761.549
4.843.943
1.566.101
1.788.760
|
2.096.219
1.944.624
1.626.669
2.201.127
1.373.248
888.066
758.553
2.081.157
3.417.580
1.328.527
1.677.794
|
Sumber : BPS di olah oleh Dit Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil
, April 1998
2. Potensi Pasar Global
Pada
periode 1992-1995 permintaan cabai meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 22,09
% per tahun, sedangkan pada tahun 1995-1997 di proyeksikan meningkat sebesar
28,79 %. Permintaan tersebut di duga akan meningkat terus sejalan dengan
pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri pengolahan makanan. Kecendrungan
permintaan terhadap cabai dapat diikuti dalam Tabel 3.
Tabel 3. Perkiraan
Permintaan Cabai Untuk Rumah Tangga DI Jawa 1998-2000 (Ribuan
Ton/Tahun)
Jenis Cabe
|
1998
|
2000
|
Cabai
Merah
Cabai
Hijau
Cabai
Rawit
|
91.80
23.10
143.20
|
93.90
23.60
146.40
|
Total Permintaan Cabai
|
258.10
|
264.10
|
Sumber : LPM
IPB dan Kantor Depnaker Bogor, 1997. Peluang Bisnis Hortikultura. Bahan
Pelatihan Pembentukan Pemuda Mandiri Profesional Profesional Melalui Peran
serta Perguruan Tinggi Menjadi Pengusaha Pemula 1997.
D. Packing House Operation
Pengertian
packing house operation adalah persiapan yang dilakukan yang mungkin hanya pada
tanaman dalam jumlah terbatas dan dipersiapkan untuk pasar tertentu. Setelah
panen tanaman hortikultura harus dibersihkan, disortir dan biasanya dikemas
jika mereka akan dijual di pasar untuk menjaga produk tetap segar. Biasanya
prosedur ini berlangsung di rumah pengemasan dari berbagai jenis, baik itu
tempat tinggal kecil atau tempat pengemasan berukuran besar dengan peralatan
otomatis.
Menyiapkan bahan sesuai keperluan pembeli
Pengkelasan sesuai tuntutan pasar
Menampung sementara sebelum dipasarkan
Packing
house cenderung menjadi titik fokus untuk industri hortikultura lokal dan pusat
informasi dapat juga dimanfaatkan untuk kemasan komoditas yang berbeda dalam
musim yang berbeda. Selain itu packing house juga bertujuan untuk menyiapkan
bahan sesuai dengan kebutuhan konsumen yang menginginkan produk yang
berkualitas, pengkelasan produk yang disesuaikan dengan tuntutan pasar dan
dapat digunakan sebagai tempat penampungan produk sementara sebelum dipasarkan
agar produk terjaga kualitasnya. Untuk
ekspor produk segar, packing house merupakan bagian penting dari operasi pada
saat seleksi, penilaian dan pengendalian mutu yang disiplin. Berbagai faktor
yang harus dipertimbangkan ketika merencanakan packing house meliputi:
- operasi;
- peralatan dan fasilitas;
- lokasi;
- desain dan bahan konstruksi;
- manajemen.
1. Penanganan
Pasca Panen
Periode
pasca panen adalah mulai dari produk tersebut dipanen sampai produk tersebut dikonsumsi
atau diproses lebih lanjut. Cara penanganan dan perlakuan pasca panen sangat
menentukan mutu yang diterima konsumen dan juga masa simpan atau masa pasar.
Namun demikian, periode pasca panen tidak bisa terlepas dari sistem produksi,
bahkan sangat tergantung dari sistem produksi dari produk tersebut. Cara
berproduksi yang tidak baik mengakibatkan mutu panen tidak baik pula. Sistem
pascapanen hanyalah bertujuan untuk mempertahankan mutu produk yang dipanen
(kenampakan, tekstur, cita rasa, nilai nutrisi dan keamanannya) dan
memperpanjang masa simpan dan masa pasar (Utama, 2005).
Pasca
panen merupakan salah satu kegiatan penting dalam menunjang keberhasilan
agribisnis. Meskipun hasil panennya melimpah dan baik, tanpa penanganan pasca
panen yang benar maka resiko kerusakan dan menurunnya mutu produk akan sangat
besar, seperti diketahui bahwa produk terutama holtikultura pertanian bersifat
mudah rusak, mudah busuk, dan tidak tahan lama, hal ini menyebabkan
pemasarannya sangat terbatas dalam waktu maupun jangkauan pasarnya sehingga
butuh penanganan pasca panen yang baik dan benar (Setiadi, 2006).
a. Sortasi
Penanganan
pasca panen dilakukan segera setelah buah dipetik. Kemudian ditebar (diangin‐anginkan) (Setiadi,
2006). Setelah itu dilakukan sortasi (pemilahan), dalam sortasi ini dipilah‐pilah antara cabai yang
masih utuh dan sehat, cabai utuh tetapi abnormal, cabai yang rusak sewaktu pemanenan,
dan cabai yang terserang hama dan penyakit. Biasanya untuk sortasi dilakukan
dengan cara manual karena bentuk cabai rawit yang kecil dan panjang sehingga
sulit dilakukan dengan bantuan alat.
b. Pembersihan
Pada
proses pembersihan cabai bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang menempel
pada bahan. Cara pembersihan dapat dilakukan dengan penyemprotan air
menggunakan spray washing.
c.
Trimming (Perompesan)
Pada
proses perompesan ini, cabe rawit yang telah dipanen dihilangkan bagian yang
tidak dikehendaki seperti batang dan daun yang ikut terpetik saat dipanen. Proses
trimming biasanya dilakukan secara manual menggunakan tangan atau memakai alat
bantu potong.
d. Grading
Setelah
melakukan pemilahan selanjutnya dilakukan grading yaitu penggolongan cabe
rawit berdasarkan warna, kualitas dan ukuran buah setelah itu buah dimasukkan
ke dalam karung goni dan langsung dijual ke pasar (Prajnanta, 2007).
Gambar
2. Alat Grading Berdasarkan Warna
e. Pengemasan
Pengemasan
dilakukan untuk melindungi atau mencegah cabai dari kerusakan mekanis,
menciptakan daya tarik bagi konsumen, dan memberikan nilai tambah serta
memperpanjang umur simpan produk (Azahari, 2004).
Pengemasan
cabai dapat dilakukan dengan cara dikemas dalam karung untuk memudahkan proses
pengangkutan, dengan kardus ataupun plastik untuk proses penyimpanan suhu
rendah. Pengemasan cabai dalam bungkus plastik dapat timbul udara termodifikasi
yang dapat menguntungkan. Udara yang telah mengalami perubahan itu menghambat
pematangan dan memperpanjang umur simpan hasil. Pengemasan memberikan
keuntungan dari segi kesehatan. Setiap wadah tertutup dapat ikut membantu
menghindarkan barang dari debu atau terhindar dari kontaminasi zat‐zat yang merugikan
(Susanto, 1994).
Menurut
Pantastico (1993), keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari pengemasan banyak
sekali diantaranya adalah:
1.
Merupakan unit penanganan yang efisien.
2.
Merupakan unit penyimpanan yang mudah
disimpan di gudang-gudang atau rumah.
3.
Melindungi mutu dan mengurangi
pemborosan.
4. Memberikan perlindungan terhadap kerusakan
mikanik.
5. Memberi perlidungan terhadap kehilangan air.
6. Memungkinkan penggunaan udara termodifikasi
yang dapat menguntungkan.
7. Memberi barang yang bersih dan memenuhi
persyaratan kesehatan.
8. Memberikan pelayanan dan motivasi penjualan.
9. Mengurangi biaya pengangkutan dan pemasaran.
10.Memungkinkan
penggunaan cara‐cara
pengangkutan yang baru.
Perlakuan
kemas dapat mempertahankan warna dasar dari cabai rawit (kuning kemerahan). Warna
bisa dipertahankan atau yang hampir sama dengan warna setelah dipanen. Warna
dikatakan indikator terhadap kesegaran, apabila kenampakan masih terlihat
aslinya atau warna dasar tidak terjadi perubahan. Warna yang ditimbulkan pada
perlakuan yang dikemas serta pada suhu penyimpanan yang sesuai tingkat
kecerahan dapat dipertahankan. Sebaliknya perlakuan yang tidak dikemas tingkat
kecerahannya semakin menurun (pudar). Hal ini erat hubungannya dengan respirasi
karena sebagian perubahan terjadi sesudah buah cabai dipanen, perubahan warna
menjadi pudar akan menhilangkan kesegaran buah yang dan menurunkan kualitas
cabai rawit.
Perlakuan
dibungkus (dikemas) juga dapat mempertahankan capcaisin dari cabai rawit. Hal
ini disebabkan oleh minimalisirnya kerja enzim sehingga metabolisme dalam cabai
rawit juga terhambat, sehingga kandungan kapsaisin tetap bertahan (Arifin, 2010).
f. Penyimpanan
Selama
proses penyimpanan cabe rawit terjadi perubahan kimiawi yang dapat merubah
penampilan, citarasa, dan kualitasnya. Perubahan yang disebabkan oleh kerja
enzim yang mengakibatkan perubahan semakin cepat terjadi berbeda dengan yang
dipanen dalam kondisi belum terlalu tua sehingga perubahan agak lambat
disebabkan karena mengandung gula yang rendah dan lebih tinggi zat tepung
(Sumoprastowo, 2004).
Salah
satu cara menjaga agar cabe rawit tetap segar dalam waktu yang agak lama adalah
dengan menekan kerja enzim. Hal itu dilakukan dengan cara menyimpan pada suhu
rendah karena dapat menghambat aktivitas pertumbuhan mikroba.
Penyimpanan
yang biasa dilakukan adalah dalam refrigerator atau ruang pendingin.
Cara ini dianggap paling efektif untuk mencegah kerusakan cabai. Penyimpanan
dalam suhu dingin tidak dapat meningkatkan kualitas produk. Oleh karena itu, cabai
yang disimpan dalam suhu dingin harus dipanen dalam kondisi prima. Sebaiknya
panen dilakukan pada pagi hari dan segera disimpan dalam refrigerator untuk
mempertahankan kualitasnya serta mencegah hilangnya vitamin yang terkandung di
dalamnya.
Tujuan
utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi, dan
mempertahankan cabai rawit dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen. Umur
simpan dapat diperpanjang dengan pengendalian penyakit‐penyakit pasca panen,
pengaturan atmosfer, perlakuan kimia, penyinaran, pengemasan serta pendinginan
(Pantastico, 1993).
Tujuan
penyimpanan suhu dingin (cool storage) adalah untuk mencegah kerusakan
tanpa mengakibatkan pematangan abnormal atau perubahan yang tidak diinginkan
sehingga mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima oleh
konsumen selama mungkin. Pendinginan pada suhu di bawah 100 C
kecuali pada waktu yang singkat tidak mempunyai pengaruh yang menguntungkan
bila komoditas itu peka terhadap cacat suhu rendah (chilling injury).
Salah
satu perubahan yang sangat mencolok selama penyimpanan adalah berat susut dan
pigmen (zat warna). Dengan turunnya kandungan klorofil, maka pigmen‐pigmen lainnya dapat bertambah
atau berkurang pada suhu simpan, kemasan, dan varietasnya.
Cara
penyimpanan dan lama penyimpanan yang tepat dapat menghambat laju respirasi
cabai rawit sehingga kandungan vitamin C yang ada di dalam cabai rawit dapat dipertahankan.
Vitamin C disamping larut dalam air juga mudah teroksidasi. Oksidasi akan
terhambat bila vitamin C dibiarkan pada suhu rendah. Kehilangan vitamin C
terjadi sepanjang tahapan penyimpanan mulai dari pencucian, blansing,
pemotongan, dan penghancuran. Rusaknya jaringan‐jaringan akan menghilangkan vitamin C
karena oksidasi. Umumnya kehilangan vitamin C terjadi bila jaringan yang rusak
dan terkena udara. Kehilangan vitamin C lebih lanjut dapat terjadi di rumah
tangga selama penyimpanan dengan wadah terbuka Selama penyimpanan kehilangan
vitamin C akan berlangsung terus.
Kandungan
air dalam cabai rawit merupakan indikasi dari tingkat kesegaran sehingga sangat
berpengaruh terhadap mutu, terutama mutu fisik. Hal tersebut terjadi karena
proses metabolisme yang terjadi selama dalam penyimpanan dapat mengakibatkan
perubahan komponen non air terutama karbohidrat. Penyimpanan cabai rawit dengan
dibungkus dengan suhu rendah dapat mempertahankan kesegaran dan mutu cabai
rawit.
Di
bawah ini merupakan desain packing house yang digunakan untuk produk cabe yang
meliputi proses operasi yang lengkap dengan kapasitas pabrik.
Gambar
3. Denah Packing House Cabe Rawit
2. Kriteria
Mutu
no
|
Jenis uji
|
Satuan
|
|
Persyaratan
|
|
|
|
Mutu I
|
Mutu II
|
Mutu III
|
|
1
|
Keragaman warna
|
%
|
merah > (95)
|
merah > (95)
|
merah > (95)
|
2
|
keseragaman bentuk
|
%
|
seragam (98)
|
seragam (98)
|
seragam (98)
|
3
|
keseragaman ukuran
|
%
|
98 normal
|
96 normal
|
95 normal
|
|
a. Cabai merah besar
segar
|
|
|
|
|
|
panjang buah
|
cm
|
12-14
|
09-11
|
< 9
|
|
garis tengah pangkal
|
cm
|
1,5-1,7
|
1,3-<1,5
|
< 1,3
|
|
b. Cabai merah
keriting
|
|
|
|
|
|
panjang buah
|
cm
|
> 12-17
|
10-<12
|
< 10
|
|
garis tengah pangkal
|
cm
|
> 1,3-1,5
|
1,0-<1,3
|
< 1,0
|
4
|
kadar kotoran
|
%
|
1
|
2
|
3
|
5
|
tingkat kerusakan
& busuk
|
|
|
|
|
|
a. Cabai merah besar
|
%
|
0
|
1
|
2
|
|
b. Cabai merah
keriting
|
%
|
0
|
1
|
2
|
Sumber: SNI 1998
E. Kesimpulan
1. Budidaya cabai rawit
dipengaruhi oleh bibit yang digunakan, ketersediaan air, pola tanam, pengolahan
tanah, pemberantasan hama, cara panen dan cara pasca panen.
2. Pemeliharaan tanaman
cabai rawit dapat dilakukan dengan cara perempelan, pengajiran, penyulaman,
pengairan, prasarana dan kebersihan lingkungan.
3. Cabai mengandung protein, lemak,
karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin‐vitamin (salah satunya adalah
vitamin C) dan mengadung senyawa-senyawa alkaloid, seperti kapsaisin,
flavonoid, dan minyak esensial.
4. Hasil pengolahan cabai rawit dapat berupa
saus, sambal dan tepung cabai.
5. Packing house operation pada cabai rawit
dilakukan dengan cara sortasi, pembersihan, trimming, grading, pengemasan dan
penyimpanan.
6.
Perlakuan kemas dapat mempertahankan warna dasar dari cabai rawit (kuning kemerahan)
dan capcaisin.
7. Cara penyimpanan dan lama penyimpanan yang
tepat dapat menghambat laju respirasi cabai rawit sehingga kandungan vitamin C yang
ada di dalam cabai rawit dapat dipertahankan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Ihsanul. 2010. Pengaruh Cara dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Cabai Rawit (Capsicum
frutencens L var. Cengek). Skripsi Pada
Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
Azahari,
D. H. 2004.Cara Penanganan Pasca Panen yang Baik Good Handling Practices
(GHP) Komoditi Holtikultura. Rajawali. Jakarta
Kartasapoetra,
A. 1988. Teknologi Budidaya Tanaman Pangan Di Daerah Tropik. Bina aksara.
Jakarta
LPM IPB dan Kantor Depnaker
Bogor. 1997. Peluang Bisnis
Hortikultura. Bahan Pelatihan Pembentukan Pemuda Mandiri Profesional
Profesional Melalui Peran serta Perguruan Tinggi Menjadi Pengusaha Pemula 1997.
Pantastico,
E. R. 1993. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan
Sayuran Tropika dan Subtropika. Diterjemahkan Oleh
Kamariyani. Gadja Mada Universitas Press. Yogyakarta
Prajnanta,
F. 2007. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta
Rukmana,
R. 2002. Usaha Tani Cabai Rawit. Kanisius. Yogyakarta
Setiadi.
2006. Cabai Rawit Jenis dan Budaya. Penebar Swadaya. Jakarta
http://sisni.bsn.go.id/index.php/sni_main/sni/detail_sni/4922. diakses pada 8
Mei 2012 pukul 3.21.
Susanto,
T., Bambang H. dan Suhardi. 1994. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen.
Akademika. Yogyakarta
Sumoprastowo.
2004. Memilih dan Menyimpan Sayur-Mayur,Buah-Buahan,dan Bahan Makanan.
Bumi Aksara. Jakarta
Utama,
I. 2005. Pascapanen Produk Segar Hortikultura. Universitas Udayana.
Denpasar
Wiryanta.
2006. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Agromedia. Tangerang
Yamaguchi,
M. dan Vincent. 1999. Sayuran Dunia 1. ITB. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar