A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai alat pengolah bahan–bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai media penggoreng yang penting dan kebutuhannya yang semakin meningkat. Minyak goreng nabati biasa dapat diproduksi dari kelapa sawit, kelapa atau jagung. Minyak goreng sering kali dipakai untuk menggoreng secara berulang-ulang, bahkan sampai warnanya coklat tua atau hitam dan kemudian dibuang. Penggunaan minyak goreng secara berulang-ulang akan menyebabkan oksidasi. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang mengkonsumsinya, yaitu menyebabkan berbagai gejala keracunan.
Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir. Sedangkan pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena reaksi polimerisasi adisi dari asam lemak tidak jenuh.
2. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum acara “Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap Minyak Goreng” ini adalah :
1. Menentukan bilangan peroksida dan titik asap pada minyak goreng.
2. Mengetahui pengaruh bilangan peroksida dan titik asap terhadap kualitas minyak goreng.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Bahan
Minyak berdasarkan warnanya terdiri dari 2 golongan, golongan pertama yaitu zat warna alamiah, yaitu secara alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstrasi. Zat warna tersebut antara lain α dan β karoten (berwarna kuning), xantofil,(berwarna kuning kecoklatan), klorofil (berwarna kehijauan) dan antosyanin(berwarna kemerahan). Golongan kedua yaitu zat warna dari hasil degradasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E), warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk membuat minyak yang telah busuk atau rusak, warna kuning umumnya terjadi pada minyak tidak jenuh (Anonim1, 2010).
Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25°C) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Minyak yang berbentuk padat biasa disebut dengan lemak. Minyak dapat bersumber dari tanaman, misalnya minyak zaitun, minyak jagung, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari (Widayat, 2006).
Natrium tiosulfat (Na2S2O3) adalah senyawa kristal yang jernih, lebih biasa sebagai pentahidrat. Na2S2O3 adalah bahan berhablur monoklinik, efloresen yang juga disebut sebagai natrium hiposulfit. Natrium tiosulfat dapat digunakan untuk pencucian foto. Apabila bereaksi dengan iodin maka akan dihilangkan warnanya, sehingga terbentuk larutan ion tetrationat yang tidak berwarna. Reaksi ini mempunyai penggunaan yang lebih praktis dalam metode iodometri dan iodimetri dari analisis secara titrasi. Berikut ini adalah karakteristik dari Na-tiosulfat (Wahyu, 2010):
Produksi komersial dari asam asetat sering dilakukan dengan reaksi kimia metanol dan karbon monoksida (dengan katalis). Produksi lainnya termasuk dalam bentuk cair dan fase oksidasi uap gas minyak (dengan katalis), oksidasi asetaldehida, dan oksidasi fermentasi etanol. Asam asetat digunakan dalam pembuatan anhidrida asetat, selulosa asetat, monomer vinil asetat, ester asetat, plastik, insektisida, bahan kimia fotografi, dan karet (Sherertz, 1994).
Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemansan minyak sampai berbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan adalah 177-221oC (Winarno, 2004).
Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti, pertama, benar‐benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak kelapa sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat‐sifat fisiknya, yaitu dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan. Kebutuhan mutu minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan masing‐masing berbeda. Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih Diperhatikan. Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor‐faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemrosesan dan pengangkutan (Anonim2, 2007).
Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung asam lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen minyak 22,1 % - 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 % - 2,1 % (terendah) (Mahfud, 2003).
2. Tinjauan Teori
Ketengikan suatu minyak biasanya bersamaan dengan meningkatnya pembentukan asam bebas; maka untuk mengetahui kondisi dan tingkat kelayakan suatu jenis minyak untuk dikonsumsi biasanya dilakukan paling sedikit 3 macam pemeriksaan yakni (Sihombing, 1996):
1. Angka asam, didefinsikan sebagai jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralisir asam bebas yang ada di dalam 1 gram minyak.
2. Nilai peroksida, angka yang menunjukkan jumlah peroksida yang berada di dalam minyak yang diekspresikan sebagai mili-ekuivalen (mEq) per 1000 g minyak.
3. Uji organoleptik.
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non enzimatik. Di antara minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena autoksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Bau tengik atau ransid terutama disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai angka peroksida atau angka asam thiobarbiturat (TBA) (Sudarmadji, 2003).
Angka iod mencerminkan ketidakjenuhan asam lemak penyusun minyak dan lemak. Asam lemak tidak jenuh mampu mengikat iod. Selain itu asam lemak mampu membentuk senyawaan yang jenuh. Banyaknya iod yang diikat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap. Penentuan angka iodine dapt dengan cara Hanus atau cara Kaufmaun dan Von Hubl, atau cara Wiys (Deman, 1997).
Cara hot plate dapat digunakan untuk menentukan kadar air dan bahan lain yang menguap, yang terdapat dalam minyak dan lemak. Cara tersebut dapat digunakan untuk semua jenis minyak dan lemak, termasuk emulsi seperti mentega dan margarin, serta minyak kelapa dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi. Untuk minyak yang diperoleh melalui ekstraksi dengan pelarut menguap, cara tersebut tidak dapat digunakan (Ketaren, 2005).
Tiosulfat bereaksi dengan asam membentuk endapan kuning belerang dan gas belerang dioksidasi. Natrium tiosulfat dalam laboratorium berguna untuk titrasi redoks, misalnya pada iodometri, yaitu untuk menentukan kadar iodin dalam suatu larutan. Asam tiosulfat tidak stabil pada suhu kamar, Asam ini dipisahkan pada suhu 78oC (Naruti, 2010).
Penentuan peroksida kurang baik dengan cara iodometri biasa meskipun peroksida bereaksi sempurna dengan alkali iod. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis lainnya hanya bereaksi sebagian. Di samping itu dapat terjadi kesalahan yang disebabkan oleh reaksi antara alkali iodida dengan oksigen dari udara (Lokmanto, 2010).
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak dan lemak. Atau terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Rancindity terbentuk oleh aldehid bukan oleh peroksida. Jadi kenaikkan peroxide value (PV) hanya indicator dan peringatan bahwa minyak sebentar lagi akan berbau tengik (Wibowo, 2009).
Optimasi bilangan peroksida dapat diprediksi menggunakan grafik surface tiga dimensi. Pada karakteristik minyak goreng bilangan asam merupakan parameter yang utama. Dengan kondisi yang diperoleh pada hasil diatas selanjutnya dimasukkanpada model matematika bilangan peroksida (Widayat, 2007).
C. Metodologi
1. Alat
a. Pipet tetes
b. Pipet 20 ml
c. Pipet 1 ml
d. Buret 50 ml
e. Gelas ukur 100 ml
f. Gelas piala 200 ml
g. Hot plate
h. Thermometer
i. Neraca analitik
j. Erlenmeyer 250 ml
2. Bahan
a. Minyak sawit
b. Asam asetat glacial
c. Kloroform
d. KI jenuh
e. Aquadest
silahkan nikmati
BalasHapusdaftar pustaka nya kurang lengkap mas
BalasHapus